Minggu, 14 Juli 2013

PERUMPAMAAN (MATSAL) DALAM AL-QURAN



PERUMPAMAAN (MATSAL) DALAM AL-QUR’AN 
I. PENDAHULUAN.
            Salah satu keunikan al-Qur’an ialah segi metode pengajaran dan penyampaian pesan-pesannya ke dalam jiwa manusia. Metode al-Qur’an menyampaikan pesan-pesan tersebut adalah metode yang paling singkat, mudah dan jelas. Dan salah satu metode pengajaran al-Qur’an yakni penyampaian melalui ungkapan matsal (perumpamaan; jamak amsal)[1]
            Al-Qur’an mengajak kepada umat manusia untuk mempertahankan dan mendengarkan amsal-amsal, sebab dengan amsal akan ditemukan suatu kebenaran yang hakiki mengenai kekuasasan Allah swt. Di samping itu, amsal juga berguna sebagai sarana  untuk menginterpretasikan permasalahan atau peristiwa yang belum dipahami oleh umat manusia.
            Manusia dapat menelaah dan mengamalkan ajarannya sebagaimana pesan al-Qur’an. terutama terletak pada kesempatan bahasa yang digunakannya. Bahasa al-Qur’an menjanjikan  kenyataan yang realistis, peristiwa masa lalu yang tekstual, kisah-kisah yang dituturkan turun temurun, perumpamaan-perumpaman yang tepat dan kena sasaran, pemandangan mengenai hari kiamat, gambaran yang kontras antara kenikmatan dan siksaan, keteladanan dan kesetiakawanan antara sesama manusia, semuanya terpadu menyatakan antar alam pikiran dengan kenyataan serta menyentuh dalam hati nurani.
            Mengenai pesona bahasa ini sering dikaitkan dengan kemu’jizatan al-Qur’an. Letak kemu’jizatannya itu salah satu diantaranya ialah pada “amsalnya”. Terdapat sejumlah amsal dalam al-Qur’an, dibentangkan supaya manusia senantiasa berpikir dan berzikir.
            Ayat-ayat amsal merupakan pelajaran yang sangat berharga dalam kehidupan sehari-hari terutama kaitannya dengan ilmu pengetahuan dan keimanan, di dalam ayat-ayat amsal dapat ditemukan berbagai karakter umat.
            Al-Quran juga  telah memberikan dan menunjukkan beberapa bukti tentang kebenaran dan keesaan Tuhan. Namun demikian, kesombongan seringkali mendorong seseorang untuk membangkitkan keraguan dan mengacaukan hakikat-hakikat tersebut dengan berbagai kerancuan yang dibungkus eksistensi al-Quran merupakan pedoman hidup bagi seluruh umat Islam, namun sebagian umat manusia masih ada yang menginkari al-Quran sebagai pedoman hidup manusia. Al-Quran merupakan seruan Allah kepada seluruh umat manusia. Kebenarannya tidak  diragukan lagi, nyata   di hadapan kita namun masih ada sebagian orang yang mengupayakan kebathilan untuk menginkari hakikat-hakikatnya. Sehingga mereka selalu membungkam intrik-intrik nya  secara kongkrik dan realitas serta menghadapi mereka dengan menggunakan  uslub bahasa yang memuaskan, argumentasi yang pasti dan bantahan yang tegas.[2] Oleh karena itu kita sebagai umat Islam harus meyakini kebenaran al-Quran, kita tidak boleh terpengaruh dengan argumen-argumen yang mereka berikan kepada kita  yang akan mengingkari kebenaran al-Quran. baju kebenaran serta dihiasinya dalam cermin akal. Usaha tersebut perlu dihadapi dengan hujjah agar hakikat-hakikat tersebut mendapat pengakuan yang semestinya dipercayai dan bukan untuk diingkarinya.
Manusia sebagai makhluk individu atau masyarakat memiliki banyak kebutuhan dan keinginan. Hal ini mengantarkan mereka melakukan aktifitas guna memperoleh kebutuhan dan keinginan itu, sehingga sering terjadi benturan antara  kepentingan dan keinginan. Untuk menghindari kecelakaan maka perlu ada aturan yang mengatur sehingga kecelakaan dapat dihindari. Aturan yang dimaksud adalah al Quran dan Hadits Nabi. Di sisi lain manusia memiliki kecenderungan untuk mendahulukan kepentingan dan keinginannya. Oleh karena itu jika seseorang atau kelompok saja yang menetapkan peraturan itu, maka sangat boleh jadi mereka akan mementingkan diri atau kelompoknya saja.  Di samping itu manusia tidak mengetahui apa yang terbaik untuk dirinya dan bahkan banyak hal yang tidak diketahuinya. Ambillah sebagai contoh peristiwa  kematian dan apa yang terjadi sesudahnya, yang jelasnya bahwa yang paling mengetahui tentang hal ini adalah sang pencipta yakni Allah SWT. Yang tidak memiliki kepentingan  apapun, jika demikian maka yang paling tepat menyusun peraturan itu adalah Allah SWT. Dari sinilah Dia menganugrahkan petunjuk keagamaan. Sayang tidak semua manusia mampu meraih petunjuk itu. Hal ini disebabkan karena kesucian dan kecerdasan manusia bertingkat-tingkat, Oleh karena itu Allah SWT memilih dan mengutus orang-orang tertentu untuk menyampaikan kepada masyarakat tentang peraturan-peraturan yang dimaksud. Dan manusia pilihan itu adalah para Nabi dan Rasul.Terkhusus kepada Rasulullah SAW. Diturungkan wahyu kepadanya untuk dijadikan risalah bagi seluruh umat manusia.[3]
            Terkait masalah wahyu yang diturungkan oleh Allah SWT. Yang menjadi pedoman bagi umat manusia tentunya berbagai macam masalah baik dari kalangan umat Islam itu sendiri maupun dari kalangan non Islam. Dalam hal ini berbagai macam perbedaan pendapat yang menimbulkan perdebatan, perdebatan-perdebatan dalam al-Quran inilah yang akan menjadi kajian dalam makalah ini. Namun sebelum kami  mengkaji lebih jauh maka perlu dipahami bahwa perbedaan pendapat adalah hal yang wajar-wajar saja, karena setiap manusia di berikan akal untuk berfikir. Proses berfikir pada tiap-tiap manusia yang menyebabkan manusia berbeda pendapat. Oleh karena itu kami akan uraikan pengertian, bentuk-bentuk jadal Al Quran dan faedahnya dalam penyampaian pesan-pesan.
II. PERUMPAMAAN (MATSAL) DALAM AL-QUR’AN.
  1. Pengertian Perumpamaan (Matsal).
            Sebelum lebih jauh mengkaji pengertian amtsal al-Qur'an, perlu  kiranya dijelaskan pengetian amtsal itu  sendiri. Kata أمثال merupakan bentuk jamak dari مثل secara bahasa mempunyai arti yang cukup   variatif  sesuai   dengan   bentuk   pola/wazan   kata   tersebut. Diantaranya adalah ماثل yang berarti menyerupai, (مثل ) yang berarti menyerupakan, mencontohkan, menggambarkan, (تمثل) yang berarti tergambar, terbayang, menjadi contoh, مثل  atau مثل yang berarti sama, serupa, contoh, teladan, tipe dan مثال yang berarti model, tipe.[4]
Secara istilah amtsal atau matsal terdapat beberapa pendapat ulama yaitu :
Abu al-Wafa' Muhammad Darwis memberikan pengertian amtsal sebagai berikut :
المثل قول فى شيء يسبه قولا أخر فى شيء أخر بينهما مسابهة ليبين أحدهما الآخر ويصوره[5]
Artinya: "Matsal adalah perkataan terhadap sesuatu yang menyerupai perkataan lain pada sesuatu lain yang antara keduanya terdapat persamaan agar salah satunya menjelaskan yang lain atau menggambarkannya".
Yang dikatakan dengan amtsal apabila di dalamnya ada keserupaan antara dua obyek. Kemudian obyek yang datang kemudian (musyabbah bih) menjelaskan sifat-sifat yang terdapat dalam musyabbah.
Ahmad Iskandari   dan Musthafa 'Inani Bey menjelaskan definisi amtsal sebagai berikut :
المثل قول محكى سائر يقصدمنه تشبيه حال الذى حكى فيه بحال الذى قيل لأجله [6]
Artinya: Matsal adalah cerita (ucapan) yang sudah menjadi suatu ungkapan yang tersiar (umum) yang tujuannya mempersamakan keadaan sesuatu yang tengah dibicarakan dengan keadaan sesuatu yang pernah dibicarakan orang.
Definisi di atas memberikan persyaratan amtsal, yaitu musyabbah atau  sesuatu   yang  dijadikan   obyek   perumpamaan   yang  berupa perkataan atau ungkapan haruslah sudah dikenal umum oleh orang banyak. Kemudian antara kedua obyek musyabbah    dan musyabbah bihnya harus ada persamaan.
Definisi selanjutnya seperti dijelaskan oleh mufassir Ahmad Musthafa al-Maraghi ( 1888 M-1952 M) yaitu :
المثل  و المثل  والمثيل كالشيه والشبه والشبيه وزنا ومعنا ثم استعمل فى بيان حال  شيء وصفته التى توضحه وتبين حاله  كقوله : ولله المثل الأعلى[7]
Artinya: "Al-Matsal, al-Mistl, dan al-Matsil bobot dan maknanya sama dengan kata-kata Syabah, syibh, dan syabih. Kata iersebut kemudian digunakan dalam rangka menjelaskan keadaan sesuatu dan sifat-sifatnya yang menjelaskan hal ihwalnya, sebagaimana firman Allah : "Bagi Allah sifat Maha Tinggi".
Dari definisi di atas, Al-Maraghi tidak membedakan antara tamtstl dengan tasybih. Kedua-duanya — tamtsil dan tasybih - berupaya menjelaskan keadaan gesuatu atau sifat yang melekat pada suatu obyek,
Mufassir lainnya yang memberikan definisi amtsal adalah Muhammad Rasyid Ridha yaitu :
ومثل الشيئبالتحريك- صفته التى  توضحه وتكشف عن حقيقته او يراد بيانه معناه واحواله, ويكون حقيقة ومجازا وابلغه: تمثيل المعانى المعقولة بالصور الحسية وعكسه ومنه الأمثال المضروبة وتسمى الأمثال السائرة ومنه ما يسميه البيانيون الإستعارة التمثيلية وهو خاص بالمجاز. والتمثيل أمثل أساليب البلاغة وأشدها تأثيرا وإقناعا للعقل[8]
Artinya: Perumpamaan sesuatu —dengan fatha pada huruf tsa'- yaitu sifat dari sesautu yang menjelaskan maksudnya yang hakiki. Maksud yang dikehendaki penjelasannya dengan menyebutkan sifatnya dan keadaannya. Matsal itu ada kalanya bersifat "majaz” (figuratif, dipakai sebagai kata pinjaman). Majaz yang paling baligh (mantap dalam memberikan kesan) ialah majaz yang mampu menggambarkan arti yang terdapat dalam pikiran menjadi gambaran yang inderawi, dan sebaliknya. Diantaranya ialah "al-matsal al-madlrubah", yang dinamakan matsal yang tersiar luas. Dan ada pula yang diberi nama oleh para ahli ilmu bayan "al-isti'arah at-tamtsiliyah "yang khusus bersumber dari majaz. Adapun at-tamtsil adalah uslub balaghah yang paling tepat, paling kuat dalam memberi bekas dan paling kena menurut akal
Definisi di atas membuktikan bahwa Rasyid Ridla sangat menghargai amtsal, sebab memberikan penjelasan dengan menggunakan amtsal, figuratif (majaz.) yang disampaikan akan lebih mudah ditangkap oleh akal daripada tanpa amtsal . Selain itu pula matsal memberikan kesan yang amat mendalam.
Selanjutnya menurut Az-Zamkahsyari (467 H-538 H) lafazh matsal pada dasarnya berarri mitsl, yakni al-Nazhir yang bermakna sebanding atau sama. Al-Matsal digunakan untuk mengekspresikan :
                  a.      perumpamaan, gambaran, atau penyerupaan;
                  b.      Kisah atau cerita jika keadaannya asing atau sesuatu yang abstrak;
                  c.       Sifat, keadaan atau tingkah laku yang mengherankan.[9]
Berdasar definisi di atas, menurut Az-Zamakhsyari matsal mempunyai beberapa ciri yaitu adanya keserupaan antara kedua obyek, mengkongkretkan sesuatu yang masih abstrak, dan menjelaskan sifat atau keadaan yang masih remang-remang.
Selain definisi-definisi yang telah diuraikan di atas, terdapat pendapat lain yang mcngatakan bahwa amtsal adalah menonjolkan sesuatu makna (yang abstrak) dalam bentuk yang inderawi agar menjadi indah, menarik, padat serta mempunyai pengaruh yang mendalam terhadap jiwa, baik berupa tasybih ataupun perkataan bebas atau bukan tasybih. Dengan pengertian ini maka matsal tidak disyaratkan harus mempunyai maurid sebagaimana disyaratkan pula harus berupa majaz murakkab,[10]
Dari beberapa definisi matsal baik menurut ahli bahasa maupun menurut ahli tafsir di atas dapat disimpulkan bahwa matsal merupakan segala bentuk ungkapan perkataan yang dikemukakan dengan maksud menyerupakan keadaan, sifat sesuatu obyek dengan sesuatu yang dijadikan perumpamaannya. Susunan kalimat yang ringkas dan menarik atau menimbulkan kekaguman dalam jiwa diharapkan membantu untuk memudahkan pemahaman seseorang dalam menggali keadaan atau sifat yang melekat pada sesuatu, baik itu berupa seseorang maupun keadaan dengan mencarikan sesuatu yang mempunyai kesamaan atau keserupaan dengan tujuan agar salah satunya menjelaskan yang lain atau menggambarkannya.
  2. Kaitan Antara Tasybih dan Amsal.
             Sebelum membahas tentang kaitan antara tasybih dan amsal ada baiknya penulis memaparkan penjelasan tentang tasybih.
     a. pengertian tasybih.
Secara terminologi ada beberapa pendapat pakar yang memberikan definisi tasybih seperti dikutip oleh as-Suyuthi[11] yaitu :
Menurut Al-Sikkaki tasybih adalah:
الدلالة على مشاركة أمر فى معنى
Artinya:“Ungkapan yang menunjukkan kesamaan makna sesuatu dengan sesuatu   yang lain”
Ibn Abi al-Ishaba berpendapat bahwa tasybih adalah :
إخراج الأغمض إلى الأظهر
Artinya: Upaya menjelaskan hal yang samar atau rumit agar menjadi jelas atau        konkret
Ulama lain mendifinisikan :
أن تثبت للمشبه حكما من أحكم المشبه به
Artinya: Mengukuhkan salah satu karakter atau hukum musyabbah bih kepada       musyabbahnya.
Ketiga pendapat di atas pada dasarnya sependapat mengenai definisi tasybih. Upaya mencari sisi persamaan dari dua obyek (musyabbah dan musyabbah bih) seperti pendapat as-Sikaki adalah sama halnya berupaya menjelaskan hal yang masih samar atau rumit menjadi jelas maknanya. Namun demikian definisi tasybih yang paling dekat dengan definisi tamsil adalah sebagaimana pendapat Ibn Abi al-Ishaba.
     b. Macam-macam Tasybih
1. Tasybih ditinjau dari kedua ujungnya 
a. Menyerupakan lafadz mufrod kepada mufrod lagi, seperti menyerupakan wajah cantik kepada kembang ros. Wajah syabbahnya: sama disenangi.
b. Menyerupakan lafadz mufrod kepada murokab, seperti menyerupakan saudara kandung kepada bendera dari Yakut yang dibentangkan diatas tembok dari Jabarjad. Wajah syabbahnya, sama-sama bagus kelihatanya.
c. Menyerupakan lafadz murokab kepada murokab lagi.
d. Menyerupakan lafadz murokab dengan lafadz mufrod. Seperti menyerupakan siang hari yang diterangi dengan matahari yang terang yang dicampuri dengan tanaman yang tumbuh di tempat yangtinggi (musyabbah) diserupakan dengan malam yang diterangi dengan bulan. Wajah syabbahnya ialah sama-sama kurang terang”

2. Tentang Sifat tasybih ditinjau dari kedua ujungnya
a. Tasybih malfuf Yaitu mula-mula didatangkan beberapa musyabbah dengan system athaf dan sebagainya, lalu musybbah bihnya pun begitu pula,
b. Tasybih mafruq Yaitu mendatangkan musyabbah dan musyabbah bih, lalu musyabbah dan musyabbah bih lagi sampai beberapa tasybih Contoh: النشر مشك والوجوه دنانير واطراف الاكف عنم “adapun harum bau wanita-wanita itu laksana minyak kasturi, muka-mukanya laksana uang dinar (pada kuning dan bercahaya),dan jari tanganya laksana dahan kayu merah yang halus.”
c. Tasybih taswiyah Yaitu banyak musyabbahnya, sedangkan musyabbah bihnya hanya satu. Contohnya: كالليلى كلاهما صدغ الحبيب وحالى “adapun rambut yang melambai-lambai kepada pelipis kekasihku dan keadaanku, kedua-duanya seperti malam.”
d. Tasybih jamak Yaitu banyak musyabbah bihnya, sedangkan musyabbahnya hanya satu (kebalikan dari tasybih taswiyah). Contoh: كأنما يتبسّم عن لؤلؤ منضض او برد او قاح “bila ia tersenyum, gusinya seperti mutiara yang disusun atau sepertiair hujan es (gemerlap) atau seperti iqoh (sejenis rumput yang wangi, daunya putih dan kembangnya kuning).
3. Ditinjau dari keadaan wajah syabbahnya
a. Tasybih tamsil yaitu tasybih yang mana keadaan wajah syabbahnya terdiri atas gambaran yang dirangkai dari keadaan beberapa hal. Seperti orang yang ragu-ragu dalam menghadapi pekerjaannya. Contohnya: إني أراك تقدم رجلا وتؤخر أخرى “sesungguhnya aku melihatmu seperti kamu memajukan sebuah kaki sambil memundurkan yang satunya lagi”
b. Tasybih ghairu tamsil adalah tasybih yang wajah syabbahnya tidak terdiri dari rangkaian gambaran beberapa hal. Wajah syabbahnya terdiri atas satu hal (mufrad). Tasybih ini kebalikan dari tasybih tamtsil. كلا مك مثل السهد فى الحلاوة "Ucapanmu manis bagaikan madu" هو بحر السماح و الجود فازدد  منه قربا تزدد من الفقلر بعدا “Ia adalah lautan kemurahan. Tingkatkan pendekatanmu kepadanya, maka kamu akan bertamabah jauh dari kefakiran.”
c. tasybih mujmal yaitu tasybih yang dibuang wajah syabbahnya. Contoh:
$tB âxs? `ÏB >äóÓx« ôMs?r& Ïmøn=tã žwÎ) çm÷Gn=yèy_ ÉOŠÏB§9$%x.
      Artinya: angin itu tidak membiarkan satupun yang dilaluinya,      melainkan dijadikannya seperti serbuk. (qs, adz-Dzariat:42).[12]
d. tasybih khofi yaitu yang sukar dimengerti wajah syabbahnya kecuali orang yang cerdik. Contohnya, هم كالحلقة المفرغة لايدرى اين طرفاها “mereka itu seperti kalung yang direndam yang tidak diketahuimana ujungnya”
e. tasybih jalli yaitu tasybih yang dimengerti wajah syabbahnya.
f. Tasybih mufashol yaitu Tasybih yang menyebutkan wajah syabbahnya. Contoh:
ã@sWtB šúïÏ%©!$# (#räsƒªB$# `ÏB Âcrߊ «!$# uä!$uŠÏ9÷rr& È@sVyJx. ÏNqç6x6Zyèø9$# ôNxsƒªB$# $\F÷t/ ( ¨bÎ)ur šÆyd÷rr& ÏNqãç6ø9$# àMøŠt7s9 ÏNqç6x6Zyèø9$# ( öqs9 (#qçR$Ÿ2 šcqßJn=ôètƒ
Artinya: Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. dan Sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka Mengetahui.”( QS. Al-Ankabut : 41)[13]

4. Ditinjau dari adat tasybihnya
a. Tasybih mursal Menyebutkan adat tasybihnya, seperti محمد كالبدر
b. Tasybih muakkad Membuang adat tasybihnya, seperti محمد بدر
5. tasybih ditinjau dari segi adat dan wajah syabbah
a. Tasybih Baligh, yaitu: Tasybih yang dibuang adat dan wajhu syibahnya, seperti:
BL༠íNõ3ç/ ÒôJãã öNßgsù Ÿw tbqãèÅ_ötƒ ÇÊÑÈ  
Artinya: mereka tuli, bisu dan buta, Maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar), (QS. Al-Baqarah :18)[14]

b. Tasybih Ghair Baligh, yaitu Tasybih yang disebut adat dan wajhu syibahnya, seperti: هُوَ كَاللَّيْثِ فِي الشَّجَاعَةِ Keberaniannya laksana singa
6. Tasybih yang keluar dari kebiasaan
a. Tasybih maqbul Yaitu suatu jenis tasybiyah yang posisi musyabbahnya dijadikan musyabbah bih, sehingga sehingga yang seharusnya musyabbah dijadikan musyabbah bih, dan yang seharusnya musyabbah bih menjadi musyabbah dengan anggapan wajah syabbah pada musyabbah lebih kuat. Conoh: كأن سواد اليل شعر فاحم "Seakan gelap malam itu adalah rambut yang hitam" وبدا الصباح كان غرته  وجه الخليفة حين يمتدح ” Pagi telah muncul, seakan-akan gebyarnya adalah wajah khalifah ketika dipuji.”
b. Tasybih mardud/ dhimni adalah tasybih yang keadaan musyabbah dan musyabbah bihnya tidak jelas (implisit). Kita bisa menetapkan unsur musyabbah dan musyabbah bih pada tasybih jenis ini setelah kita menelaah dan memahaminya secara mendalam.
     Dan tasybih jenis ini didatangkan untuk menunjukkan bahwa hukum ( makna ) yang disandarkan kepada musyabbah itu mungkin adanya. Contoh: من يهن يسهل الهوان عليه # ما لجرح بميت ايلام “ Barang siapa yang merendah, maka akan mudah ia menanggung kehinaan. Luka bagi mayat tidak memberinya sakit. “ Contoh perkataan Ibnu al-Rumi : قَدْ يَشِيْبُ الْفَتَى وَلَيْسَ عَجِيْباً اَنْ يُرَى النَّوْرُ فِى الْقَضِيْبِ الرَّطِيْبِ “ Kadang – kadang seorang pemuda beruban, dan hal ini tidaklah mengherankan. Bunga ( pun ) dapat keluar pada dahan yang muda dan lembut.
            adapun kaitan antara amsal dengan taybih adalah Amsal Al-Qur’an menampakkan pengertian yang abstrak dalam ungkapan yang indah, singkat dan menarik yang mengena dalam jiwa baik dalam tasybih maupun majaz mursal.[15] Dalam hal tasybih (penyerupaan/penyamaan) didalam al-Quran cukup banyak, lebih dari 40 amsal yang mengandung tasybih diantaranya adalah dalam Surat Al Jumu’ah  : 5, yaitu:
ã@sVtB tûïÏ%©!$# (#qè=ÏdJãm sp1uöq­G9$# §NèO öNs9 $ydqè=ÏJøts È@sVyJx. Í$yJÅsø9$# ã@ÏJøts #I$xÿór& 4 }§ø©Î/ ã@sWtB ÏQöqs)ø9$# tûïÏ%©!$# (#qç/¤x. ÏM»tƒ$t«Î/ «!$# 4 ª!$#ur Ÿw Ïöku tPöqs)ø9$# tûüÏHÍ>»©à9$# ÇÎÈ  
Artinya: perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa Kitab-Kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim. (Qs. Al- Jumu’ah : 5)[16]
            Dalam ayat ini Allah SWT mengumpamakan orang orang Yahudi yang telah diberi kitab Taurat kemudian mereka membacanya tetapi tidak mengamalkan isinya dan tidak membenarkan kedatangan Nabi Muhammad SAW dengan binatang Himar (keledai) yang membawa kitab kitab yang tebal dalam hal kemubadziran dari pekerjaannya. Maksud kalimat ini adalah untuk memberikan gambaran yang lebih jelas dan merangsang perasaan bahwa kitab Taurat yang diturunkan oleh Allah kepada kaum Yahudi tidak bermanfaat sedikitpun jika tidak diamalkan dan tidak membenarkan terhadap kandungan isinya. Perumpamaan ini ditujukan kepada kaum Muslimin agar membenarkan Al-Quran dan melaksanakannya serta agar jangan menyerupai orang Yahudi yang tidak menerima isi Taurat dan tidak mengamalkannya.
            Dari penjelasan diatas penulis berpendapat bahwa tasybih merupakan penyerupaan atau penyamaan, dan merupakan bagian dari amsal, yaitu amsal yang menunjukkan tasybih (Amsal Mursalah ).
  3. Macam-Macam Perumpamaan (Matsal)
              Matsal Qur’an itu ada tiga macam :
  A. Matsal Musarrahah.
            Matsal musarrahah ialah yang didalamnya di jelaskan dengan lafadz masal atau sesuatu yang menunjukkan tasybih[17]. Amtsal yang seperti ini banyak di temukan dalam al-Qur’an dan berikut ini adalah salah satu contoh:
öNßgè=sVtB È@sVyJx. Ï%©!$# ys%öqtGó$# #Y$tR !$£Jn=sù ôNuä!$|Êr& $tB ¼ã&s!öqym |=ydsŒ ª!$# öNÏdÍqãZÎ/ öNßgx.ts?ur Îû ;M»yJè=àß žw tbrçŽÅÇö6ムÇÊÐÈ   BL༠íNõ3ç/ ÒôJãã öNßgsù Ÿw tbqãèÅ_ötƒ ÇÊÑÈ   ÷rr& 5=ÍhŠ|Áx. z`ÏiB Ïä!$yJ¡¡9$# ÏmŠÏù ×M»uKè=àß Óôãuur ×-öt/ur tbqè=yèøgs ÷LàiyèÎ6»|¹r& þÎû NÍkÍX#sŒ#uä z`ÏiB È,Ïãºuq¢Á9$# uxtn ÏNöqyJø9$# 4 ª!$#ur 8ÝŠÏtèC tûï̍Ïÿ»s3ø9$$Î/ ÇÊÒÈ   ߊ%s3tƒ ä-÷Žy9ø9$# ß#sÜøƒs öNèdt»|Áö/r& ( !$yJ¯=ä. uä!$|Êr& Nßgs9 (#öqt±¨B ÏmŠÏù !#sŒÎ)ur zNn=øßr& öNÍköŽn=tæ (#qãB$s% 4 öqs9ur uä!$x© ª!$# |=yds%s! öNÎgÏèôJ|¡Î/ öNÏd̍»|Áö/r&ur 4 žcÎ) ©!$# 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« ֍ƒÏs% ÇËÉÈ  
 Artinya: perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, Maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. mereka tuli, bisu dan buta, Maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar), atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir,sebab takut akan mati. dan Allah meliputi orang-orang yang kafir. Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti. Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu. (QS. Al-Baqarah : 17-20).[18]
            Dalam  ayat tersebut, Allah mengumpamakan orang-orang munafik dengan dua perumpamaan, yaitu diserupakan dengan api yang menyala (  كمثل الذي استو قد نا را   ) dan dengan air (  او كصيب من السما ء  ) yang didalamnya ada unsur kehidupan. Begiti pula Al-Qur’an diturunkan, pertama untuk menyinari hati dan kedua menghidupkannya. Allah menyebutkan keadaan orang munafik juga di dalam dua hal, mereka di umpamakan menghidupkan api untuk menyinari dan memanfaatkannya agar dapat berjalan dengan sinar api tadi. Tetapi sayang mereka tidak bisa memanfaatka api itu, karena Allah telah menghilangkan cahayanya, sehingga masih tinggal panasnya saja yang akan membakar badan mereka, sebagaimana mereka tidak menghiraukan seruan Al-Qur’an, Dan hanya berpura-pura membacanya saja.[19]
            Begitu pula dalam perumpamaan kedua, dimana mereka diserupakan denga air hujan yang turun dari langit, di sertai dengan kegelapan petir dan kilat sehingga mereka menutup telinga dan memejamkan mata karena takut mati di sambar petir. Hal inipun relevan dengan keadaan mereka yang mengabaikan Al-Qur’an dan tidak menjalankan perintah-perintah-Nya yang mestinya bisa menyelamatkan, tetapi karena tidak di indahkan maka justru membahayakan mereka.

  2).Matsal kaminah.
             Matsal Kaminah, ialah yang di dalamnya tiidak di sebutkan dengan jelas lafadz tamtsil )pemisalan) tetapi ia menunjukkan makna-makna yang indah, menarik dalam kepadatan redaksinya dan mempunyai pengaruh tersendiri bila di pindahkan kepada yang serupa dengannya, berikut ini ada beberapa contoh matsal kaminah:
tûïÏ%©!$#ur !#sŒÎ) (#qà)xÿRr& öNs9 (#qèù̍ó¡ç öNs9ur (#rçŽäIø)tƒ tb%Ÿ2ur šú÷üt/ šÏ9ºsŒ $YB#uqs%  
Artinya: dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan  adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. (QS. Al-furqan : 67)[20]

Ÿwur ö@yèøgrB x8ytƒ »'s!qè=øótB 4n<Î) y7É)ãZãã Ÿwur $ygôÜÝ¡ö6s? ¨@ä. ÅÝó¡t6ø9$# yãèø)tFsù $YBqè=tB #·qÝ¡øt¤C ÇËÒÈ  
Artinya: Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya, karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. (QS. Al- isra’ : 29).[21]

           Maksud dari ayat diatas adalah jangan kamu terlalu kikir, dan jangan pula terlalu Pemurah.

  3). Amtsal Mursalah.
            yaitu kalimat-kalimat bebas yang tidak menggunakan lafadz tasybih dengan jelas. Tetapi kalimat itu berlaku sebagai masal.
            Berikut Contoh-contohnya :
$£Jn=sù Ÿ@|Ásù ßNqä9$sÛ ÏŠqãZàfø9$$Î/ tA$s% žcÎ) ©!$# Nà6Î=tFö6ãB 9ygoYÎ/ `yJsù z>ÎŽŸ° çm÷YÏB }§øŠn=sù ÓÍh_ÏB `tBur öN©9 çmôJyèôÜtƒ ¼çm¯RÎ*sù ûÓÍh_ÏB žwÎ) Ç`tB t$uŽtIøî$# Opsùöäî ¾ÍnÏuÎ/ 4 (#qç/ÎŽ|³sù çm÷YÏB žwÎ) WxŠÎ=s% öNßg÷YÏiB 4 $£Jn=sù ¼çnyur%y` uqèd šúïÏ%©!$#ur (#qãZtB#uä ¼çmyètB (#qä9$s% Ÿw sps%$sÛ $uZs9 tPöquø9$# |Nqä9$yfÎ/ ¾ÍnÏŠqãZã_ur 4 tA$s% šúïÏ%©!$# šcqZÝàtƒ Nßg¯Rr& (#qà)»n=B «!$# NŸ2 `ÏiB 7pt¤Ïù A's#ŠÎ=s% ôMt7n=xî Zpt¤Ïù OouŽÏWŸ2 ÈbøŒÎ*Î/ «!$# 3 ª!$#ur yìtB tûïÎŽÉ9»¢Á9$# ÇËÍÒÈ  
Artinya: Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata: "Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka siapa di antara kamu meminum airnya; bukanlah ia pengikutku. dan Barangsiapa tiada meminumnya, kecuali menceduk seceduk tangan, Maka Dia adalah pengikutku." kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka. Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama Dia telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata: "Tak ada kesanggupan Kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya." orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah, berkata: "Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. dan Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS, al-baqarah : 249).[22]
            Yang diumpamakan golongan yang sedikit dalam ayat di atas adalah Thalut dan orang orang yang beriman, mereka lulus tat kala diuji menyeberagi sungai tidak meminum airnya, sedangkan yang diumpamakan dengan golongan yang banyak adalah bala tentara Jalut yang tidak lulus tat kala diuji menyebrangi sungai karena meminum airnya.
}§øŠs9 $ygs9 `ÏB Èbrߊ «!$# îpxÿÏ©%x. ÇÎÑÈ  
Artinya: tidak ada yang akan menyatakan terjadinya hari itu selain Allah. (QS. An-najm : 58).[23]


4. Peranan Perumpamaan (Matsal) Dalam Memahami Al-Quran Dan Implementasinya Dalam Kehidupan/Pergaulan.

 Amtsal atau matsal  merupakan salah satu medium yang dapat menampilkan makna-makna dalam bentuk yang hidup dan mantap dalam pikiran, dengan cara menyerupakan sesuatu yang ghaib dengan yang hadir, yang abstrak dengan yang kongkrit dan dengan menganalogikan sesuatu dengan yang serupa. Itulah sebabnya maka amtsal sangat efektif dalam mendorong jiwa untuk menerima apa yang dimaksudkan dan membuat akal merasa puas, Uslub matsal juga mampu memberikan bekas dan mengaktifkan kemauan berbuat, seolah-olah membisikkan dengan sangat mantap ke telinga si-penerima, sehingga kesan menembus hati, bahkan sampai menyentuh bagian jiwa yang paling dalam         
            Susunan kalimat (Uslub matsal) harus ringkas dan menarik atau menimbulkan kekaguman dalam jiwa diharapkan membantu untuk memudahkan pemahaman seseorang dalam menggali keadaan atau sifat yang melekat pada sesuatu.
           
5. Ulama Yang Menulis /Buku-Buku Tentang Perumpamaan (Matsal).
            Karena pentingnya ilmu ini sehingga banyaklah buku-buku yang memuat isi tentang amtsâl Al Qur’ân dari dahulu hingga sekarang baik dalam bentuk buku maupun dalam sebuah bab. Az Zarkasyi menyebutkan bahwa Husain bin Fadl adalah salah seorang  mutaqaddimin yang mengarang kitab tentang amtsâl Al Qur’ân.  Berbeda dengan As-Suyuti yang mengatakan bahwa Al Mawardi termasuk orang yang pertama mengarang amtsâl Al Qur’ân. Ulama lain yang menulis tentang matsal diantaranya  Abu Hasan al-Maturidi, al-Itqan dan Ibnu Qayyim dalam A’lamul Muwaqqi’in, as-Suyuti dalam al-itqan dan Ibnul qayyim dalam A’lamul-Muwaqqin
Pada tataran akademik juga para sarjana Muslim modern berlomba untuk mengarang buku-buku tentang amtsâl, terbukti dengan adanya kitab yang berjudul Amtsâl Al Qur’ân Al Kariem Wa Atsaruha fie adab Al  Arabi Ila Al Qorn Atsalitsi  Al Hijriy karangan Nurul Haq Tanwir.



DAFTAR PUSTAKA
            Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: PT Asy-Syifa, 1998.
                        Abu al-Wafa' Muhammad Darwis, Min Matsal al-Qur'an, Bilbis : Al-Maktabah al-Islamiah, 1988.
                        Ahmad Iskandari dan Musthafa 'Inani , Al-Wasith fi Adab al-Arab wa Tarikhihi, Cairo : Dar al-Ma'arif, 1978.
                        Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafslr al-Maraghi, Beirut : Dar al-Fikr, 1365
            Ahmad Warson, AI-Munawwir,  Kamus Arab-Indonesia,  Surabaya :  Pustaka Progresif, 1997
            Al Kali Asad. M, Kamus Indonesia Arab, Cet. I; Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1982.
Al Qathan Manna’ khalil, Studi Ilmu-Ilmu Al Qur ‘an, terjemah Mudzakir AS Jakarta: Litera Antar Nusa, 1993
            Al-kattan Manna’ khalil, studi ilmu-ilmu qur’an, bogor, halim jaya,
                        As, Muzakkir. Studi Ilmu-Ilmu Al Quran . Cet. III: Jakarta; PT. Pustaka Litera Antar   Nusantara, 1992.
            Ash-Shahih, Subhi. Membahas Ilmu-Ilmu Al Qur an. Cet. II; Jakarta: Pustaka Firdaus , 1991.
            Ash-Shiddieqi, TM. Hasby. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al Quran / Tafsir. Cet. V; Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1972
            Dahlan, Abd. Rahman. Kaidah-kaidah Penafsiran Al-Qur’an. Cet. II; Bandung: Mizan, 1998
            Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ed. II; Balai Pustaka, 1990
Djalal Abdul, , Ulumul Qur’an, Dunia Ilmu, Surabaya, 1997
                        Hasanuddin, Maulana. Study Ilmu-Ilmu Al Qur a. Cet. VI; Bogor: Pustaka Litera Antar Nusantara, 1992.
                        Ibn al-Qasim Jar Allah Mahmud bin Umar Az-Zamakhsyari, Tafsir AlKasysyaf, ttp.: Dar al-Fikr, 1977, cet. II J. I.
Izzan, Ahmad. Ulumul Qur an, Telaah Tekstual Al Qur an. Cet. III; Bandung: Tafakkur, 2009
Khallaf, Abd al Wahab, Ilmu Ushul fiqhi ,al Majelis Indonesia Lial da wa Hal Islamiyyah. Cet. IX; 1997.
                        Manna' Khalil al-Qaththan, Mabahits fi Ulum al-Qur'an, Beirut: Mu'assasah ar-Risalah, 1985.
            Muhammad Rasyid Ridla, Tafsir ad-Manar, Beirut : Dar al-Fikr, tth
                        Nata, Abuddin. Al Quran Dan Hadits. Cet. V; Jakarta: PT. Raja Graindo, 1996.
Zaini, Hasan Radiatul Hasnah,’Ulum Al-Qur’an,Batusangkar:STAIN Batu Sangkar Press, 2010



                [1] Abd. Rahman Dahlan, Kaidah-kaidah Penafsiran Al-Qur’an (Cet. II; Bandung: Mizan, 1998), h. 156.
                [2] Maulana Hasanuddin, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (cet. VI; Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2001), h. 427.
                [3] Quraish Shihab, Mukzizat Al Quran Ditinjau dari aspek kebahasaan Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Gaib, (Cet. IV; Bandung: Mizan, 1998) h. 35.
                [4] Ahmad Warson, AI-Munawwir,  Kamus Arab-Indonesia,  (Surabaya :  Pustaka Progresif, 1997), h. 1309-1310.
[5] Abu al-Wafa' Muhammad Darwis, Min Matsal al-Qur'an, (Bilbis : Al-Maktabah al-Islamiah, 1988), h. 5.
[6] Ahmad Iskandari dan Musthafa 'Inani , Al-Wasith fi Adab al-Arab wa Tarikhihi, (Cairo : Dar al-Ma'arif, 1978), h. 16.
                [7] Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafslr al-Maraghi, (Beirut : Dar al-Fikr, 1365), h. 57.
[8] Muhammad Rasyid Ridla, Tafsir al-Manar, {Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), j. I,, h. 167.
[9] Ibn al-Qasim Jar Allah Mahmud bin Umar Az-Zamakhsyari, Tafsir AlKasysyaf, (ttp.: Dar al-Fikr, 1977), cet. II J. I, h. 195.
                [10] Manna' Khalil al-Qaththan, Mabahits fi Ulum al-Qur'an, (Beirut: Mu'assasah ar-Risalah, 1985),
                [11] Jalaluddin Abd. Ar-Rahman as-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Qur'an, (Beirut: Dar Ibn al-Katsir, 1987), h. 773.
                [12] Departemen Agama, logcit hal 279
                [13] Ibid hal 510
                [14] Ibid hal 5
                [15] Ahmad Syadili, Ulumul Qur’an (Cet. I; Bandung Pustaka Setia, 1997), h. 35.
                [16]  Departemen Agama RI, Op,Cit. h 90
                [17] Manna’ khalil al-kattan, Op,Cit, hlm:404
                [18] Departemen Agama RI, Op,Cit. h 5
                [19] Khozin Mansur, Mantiq, (sidoarjo), hlm:25
                [20] Departemen Agama RI, Op,Cit. hal 67
                [21] Ibid, h 85
                [22] Ibid, h 30
                [23] Ibid, h 342
                [24] Asad. M. Al Kali, Kamus Indonesia Arab, (Cet. I; Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1982) h.112.
                [25] Departemen pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesi, (Ed. II; Balai Pustaka, 1990), h.190
                [26] Muzakkir AS, Studi Ilmu-Ilmu Al Qur’an, (Cet. III; Jakarta: PT. Pustaka Litera Antar Nusantara, 1992), h. 420-421.
                [27] Departemen agama, op,Cit. Hal 176
                [28] Ahmad Izzan, Ulumul Quran  Telaah Tekstualitas dan Kontekstualitas Alquran, (Cet. III; Bandung: Tafakur, 2009), h. 228.
                [29] Departemen Agama RI, Op, Cit. h 123
                [30] Ibid h 351
                [31] Ibid h 208
                [32] Abd al-Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Al-Fiqh, al-Majeliis, al- Indonesia lial-Da’wahal- Islamiyyah, (Cet. IX, 1972) h. 23.
                [33] Departemen Agama RI, Op,Cit. h 152
                [34] Abd al-Wahab Khallaf, Op,Cit. h. 23.
                [35]  Departemen Agama RI, Op,Cit. h 6
[36] Departemen Agama RI, Op,Cit. h 190
                [37] Ibid h 136
                [38] Ibid, h 70
                [39] Ibid, hal 233.